Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Keduanya memiliki keterlibatan satu sama lain. Ada banyak definisi tentang kondisi ini, namun bagaimana definisi kesehatan mental menurut WHO? Secara khusus di momen Hari Kesehatan Mental tahun 2021 lalu.
Definisi Kesehatan Mental menurut WHO
Dewasa ini, kita sering membaca berita entah di televisi, media sosial, ataupun media cetak mengenai salah satu kelainan yang dialami oleh manusia. Yaitu gangguan jiwa atau penyakit mental.
World Health Organization (WHO) adalah Organisasi Kesehatan Dunia adalah salah satu badan PBB yang bertindak sebagai koordinator kesehatan umum internasional.
Pada 10 Oktober 2021 lalu, WHO mengangkat tema Hari Kesehatan Mental Sedunia: “Perawatan kesehatan mental untuk semua: mari kita wujudkan” atau “Mental health care for all: let’s make it a reality“.
Dilansir dari laman resmi WHO, tema itu berangkat dari pandemi Covid-19 yang berdampak besar pada banyak aspek, terutama kesehatan mental.
Definisi kesehatan mental menurut WHO, merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.
Maka dapat dipahami ketika Individu berada diluar definisi tersebut maka dimungkinkan dapat ditemukanya suatu kelainan, kita menyebutnya gangguan jiwa.
Sementara menurut UU RI NO.18 Tahun 2014, menjelaskan bahwa gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran,perilaku, dan perasaan.
Hal ini termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Berdasarkan berita yang dilansir oleh Harian Nasional Penderita gangguan jiwa di Indonesia tercatat meningkat berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. “Ada peningkatan jumlah menjadi 7 per mil rumah tangga.
Artinya per 1.000 rumah tangga terdapat 7 rumah tangga yang ada ODGJ, sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu ODGJ berat,” ujar Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anung Sugihantono kepada HARIAN NASIONAL .
Ada beberapa macam gangguan jiwa diantaranya adalah skizofrenia, depresi psikopat, bipolar disorder, anti sosial dan lain lain.
Data Riskesdas pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.
Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang.
Pada faktanya penanganan dari dampak tingginya masalah kesehatan mental menghabskan dana yang tidak sedikit. Diketahui dari Guru Besar ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ascobat Gani kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan mental berdasarkan Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp 20 triliun.
Tentunya angka tersebut tidak sedikit bilamana dialokasikan pada pembukaan lapangan kerja atau investasi pendidikan untuk masa depan yang lebih terang.
Penyebab tingginya masalah kesehatan mental juga dipicu dari kurang adanya keterbukaan masyarakat mengenai hal tersebut, mereka memilih untuk diam dan mencoba untuk melakukan penanganan sendiri, dengan cara primitif dan kuno.
Selain itu juga dipengaruhi kurang adanya keterbukaan juga menutup kemungkinan buat adanya penanganan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau institusi lembaga kesehatan. Masyarakat masih beranggapan bahwa kelainan mental bukan merupakan penyakit yang butuh penanganan secara serius, sama sekali tidak lebih berbahaya dari pada penyakit fisik ( yang terlihat).
Besar harapan kita semua, terwujudnya sedikit demi sedikit pemahaman masyarakat yang dapat menghapus paradigma buruk dan tebal mengenai perlakuan terhadap penderita gangguan jiwa atau kesehatan mental beserta penangananya. [AB]