Tradisi minum jamu ini diperkirakan sudah ada sejak 1300 M dan merupakan minuman bersejarah. Jamu umumnya digunakan masyarakat Indonesia sebagai minuman obat alami untuk menjaga kesehatam, serta menyembuhkan berbagai penyakit.
Jamu pertama kali ditemukan dalam naskah kuno Gathotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, dimana jamu disebut sebagai Jampi. Berbagai penyebutan terhadap obat tradisional ini akhirnya berkembang sesuai dengan zamannya, ada istilah jamu empirik, jamu saintifik, obat herbal terstandar (OHT), fitofarmaka dan obat modern asli Indonesia.
Jauh sebelum Pemerintah Indonesia membagi obat tradisional menjadi klaster jamu, OHT dan Fitofarmaka, Jamu sebetulnya sudah dikenal oleh masyarakat khususnya etnis Jawa selama berabad-abad lamanya berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan filologi (naskah kuno).
Masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini masih menggunakan Jamu. Minuman khas Indonesia ini telah menjadi kebanggaan tersendiri seperti halnya dengan Ayurveda dari India dan Zhongyi dari Cina.
Sejak saat itu, perempuan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal alami. Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak Cobek dan Ulekan –alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Selain artefak Cobek dan Ulekan, ditemukan juga bukti-bukti lain seperti alat-alat membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta, tepatnya di Candi Borobudur pada relief Karmawipangga, Candi Prambanan, Candi Brambang, dan beberapa lokasi lainnya.
Konon, di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan dari ramuan herbal.
Seiring perkembangannya, tradisi minum Jamu sempat mengalami penurunan. Tepatnya saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia. Saat itu kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia sehingga minat terhadap Jamu menurun. Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari Jamu pun turut dipertanyakan.
Pada masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1940-an, tradisi minum Jamu kembali populer karena telah dibentuknya komite Jamu Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan khasiat terhadap Jamu kembali meningkat.
Berjalannya waktu, penjualan Jamu pun menyesuaikan dengan teknologi, diantaranya telah banyak dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau juga bubuk instan yang mudah diseduh. Saat itu berbenturan dengan menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan beralihnya ke dunia industri termasuk industri Jamu (baca: industri Fitofarmaka).
Tahun 1974 hingga 1990 banyak berdiri perusahaan Jamu dan semakin berkembang. Pada era itu juga ramai diadakan pembinaan-pembinaan dan pemberian bantuan dari Pemerintah agar pelaku industri Jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.
Dalam upaya mendorong jamu sebagai tuan rumah di negeri sendiri dan tamu terhormat di luar negeri, pemerintah mengembangkan berbagai program unggulan seperti Asuhan Mandiri TOGA, Saintifikasi Jamu, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional, dll. Dinkes DIY sendiri menginisasi adanya konsep pengembangan jamu dengan tagline JAMPI ATI, akronim dari Jamu lan Pijet Agawe Awet Urip, Tinebih Ing Rubedo. JAMPI ATI merupakan bangunan sistem yang terdiri dari Gallery Djamoe,
Pelayanan Kesehatan Tradisional oleh Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integratif. Akhirnya, jamu masuk ke era milenial dimana jamu tidak lagi selalu dianggap pahit. Selain itu, jamu disajikan dalam berbagai macam minuman berkelas seperti jamu cafe, jamu milenial, dll. JAMPI ATI adalah wujud nyata komitme Dinkes DIY dalam mendorong pengobatan tradisional dan atau obat tradisional masuk ke sektor ekonomi kreatif berbasis budaya asli Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Yogyakarta. [kg]