Praktik etnomedisin merupakan warisan budaya tradisional yang sangat berharga dan perlu dipelajari. Berbagai ramuan yang berasal dari alam sekitar digunakan dalam praktek pengobatan tradisional. Demikian pemaparan awal dalam seminar online bertema “Etnomedisin dari Tanah Karo” yang digelar oleh Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Nalanda, Jakarta.
Dalam seminar kesehatan tradisional yang dihelat pada Minggu (5 Februari 2023) tersebut, menghadirkan pembicara seorang etnobotanist, Endang Christine Purba dari National Taiwan University.
Purba menjelaskan sepintas perihal sejarah dan konsep etnomedisin kepada audiens seminar. “Definisi etnobotani meluas termasuk studinya Albuquerque (2005). Penelitiannya meluas untuk mempelajari populasi tradisional sebagai masyarakat industri perkotaan dan populasi non tradisional di pedesaan, khususnya hubungan manusia tersebut dengan lingkungannya,” terang Purba.
Dia melanjutkan, ada kolaborasi dengan antropologi dan ilmu sains lainnya (fitokimia, ekologi, linguistik, sejarah dan agronomi). “Sementara etnobotani fokus pada interaksi manusia dengan tumbuhan.”
Purba mengatakan, merujuk akar katanya, etnomedisin berasal dari kosa kata. “Yakni, ethno = etnis atau suku bangsa, dan medicine = obat. Sehingga etnomedisin diartikan sebagai kajian pengobatan dan pemeliharaan kesehatan etnis atau suku bangsa menurut perspektif mereka.”
Studi arkeologi mencatat praktik tumbuhan obat terjadi 2.900 SM lalu di Mesir; 60.000 tahun di Irak; dan 8.000 tahun di Tiongkok
Menurut temuan dan penelitian sejauh ini, data etnobotani termasuk etnomedisin di Indonesia masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali
“Padahal dengan studi etnomedisin, kita jadi memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emic), kemudian dibuktikan secara ilmiah (etic). Termasuk di antaranya etnomedisin dari Tanah Karo,” ujarnya.
Etnomedisin Batak Karo
Dalam penelitian Purba, etnomedisin Batak Karo pada umumnya menggunakan bahan tumbuhan obat. Di mana terdapat 124 spesies tumbuhan, 52 famili (71% liar), Zingiberaceae (Famili temu-temuan) yang merupakan bahan terbanyak digunakan.
“Pengobatan tradisional ini paling banyak digunakan untuk demam dan health maintenance. Di mana, tumbuhan yang paling sering digunakan: Zingiber officinale (jahe), Piper betle (sirih) dan Kaempferia galangal (kencur),” terangnya.
Purba mengelompokkan berdasarkan hasil studi, maka terdapat empat kategori ramuan tradisioan Batak Karo. Yaitu: Minak (minyak), Tawar, Kuning, dan Oukup (sauna tradisional)
“Minak umumnya digunakan untuk lelah, keseleo, patah tulang, luka ringan, luka bakar dan tersayat benda tajam. Sementara, kuning, digunakan untuk menghangatkan badan, khususnya bagi anak-anak, serta pemulihan kesehatan paska sakit,” dia menjelaskan.
Purba melanjutkan, untuk oukup biasanya digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, pemulihan paska kelahiran. Sementara, tawar digunakan untuk masuk angin, menghangatkan badan dan meningkatkan nafsu makan. [AB]