Dalam sejarahnya, masyarakat di seluruh dunia telah secara sengaja mengonsumsi zat-zat yang dapat mengubah proses biokimia dan psikologis (definisi drugs menurut WHO). Bertujuan untuk memperbaiki suasana hati, mengeluarkan atau melepaskan ketegangan psikologis, hingga menyembuhkan penyakit.
Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropik. Buah opium yang dilukai dengan pisau sadap akan mengeluarkan getah kental berwarna putih. Setelah kering dan berubah warna menjadi cokelat, getah ini dipungut dan dipasarkan sebagai opium mentah.
Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi. Kalau getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstral lebih lanjut akan menghasilkan heroin.
Bapak pengobatan dunia, Hippocrates berhasil menghilangkan efek negatif opium dan memanfaatkannya sebagai pereda nyeri saat perdarahan, penyakit dalam, serta wadah pada 460 M. Tabib Persia terkenal, Ibnu Sina alias Avicenna pun menggambarkan opium sebagai obat bius yang luar biasa ketimbang obat bius lain yang saat itu dianggap efektif dalam The Canon Of Medicine, ensiklopedia kedokteran yang disusun pada 1025.
Risalah kedokteran India Kuno mengungkap, opium digunakan sebagai obat diare dan disfungsi seksual pada 1200-an. Saat pertama kali diperkenalkan di dunia pengobatan Barat, opium telah dinobatkan sebagai obat serbaguna.
Dalam Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910, James R. Rush mengungkap, opium yang dikenal sebagai candu dikonsumsi masyarakat Jawa sebagai upaya terakhir mengobati salah satu dari keadaan sakit kepala, demam, menggigil, malaria, sakit perut, diare, disentri, asma, TBC, lemah, letih, lesu, dan gelisah.
Senyawa organic (alkaloid) opium pertama kali diisolasi oleh Parisian Derosne pada 1803 dan dinamai “garam opium”. Di tahun yang sama, ilmuan Jerman, Friedrich Sertürner menemukan bahan aktif dalam opium hasil pelarutan dan penetralisiran dengan zat-zat tertentu. Empat belas tahun kemudian, Sertürner menamainya morfin yang terinspirasi oleh dewa mimpi Yunani, Morpheus.
Temuan ini meyakinkan para ahli kesehatan bahwa opium sebagai bahan pengobatan telah dijinakkan dengan sempurna. Morfin disebut-sebut sebagai “obat dari Tuhan” karena khasiat pereda nyeri, efek jangka Panjang, serta minim efek samping sehingga konsumsinya lebih aman.
Istilah untuk candu yang telah dimasak dan siap untuk dihisap adalah madat. Istilah ini banyak digunakan di kalangan para penggunanya. Candu sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad ke-17 ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak.
Indonesia menguji coba terapi pemeliharaan dosis (rumatan) metadon pada 2003 di RS Ketergantungan Obat Jakarta dan RS Sanglah Bali untuk mengatasi penyuntikan putau alias heroin secara bergantian yang berkontribusi pada lonjakan kasus HIV-AIDS. Lima tahun kemudian, metadonm diproduksi di dalam negeri dengan prosedut konsumsi sesuai sistem kesehatan masyarakat RI.
Pada 2008, layanan terapi ini diselenggarakan di 189 puskesmas yang tersebar di seluruh provinsi. Tidak hanya di puskesmas dan rumah sakit, tapi juga di lapas dan rutan. Tercatat, lebih dari 2.500 pasien mengalihkan ketagihan heroinnya ke metadon. Bagaimana, tertarik untuk mencoba opium sebagai solusi pengobatan tradisional? [kg]